Senin, 20 Juni 2011

WAKAF PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


BAB II
WAKAF PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.    Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa arab al-waqfu bentuk masdar ( kata dasar ) dari kalimat وقف- يقف- وقفا, kata al-waqfu bentuk jamaknya ialah wuquf atau auqaf[17] yang artinya semakna dengan al-habs bentuk masdar dari   حبس- يحبس - حبسا  yang mempunyai arti menahan.
Secara etimologi, wakaf adalah al-habs (menahan). Sedangkan secara terminologi, yaitu: menahan suatu barang yang ditentukan, menerima untuk dipindahkan, mungkin untuk di ambil manfa’atnya besertaan  tetapnya barang dan putusnya mengunakan barang tersebut akan tetapi dipergunakan dijalan kebaikan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.[18]Imam Taqiyuddin abi Bakr lebih menekankan pada batasannya, batasan waqaf menurut sara' yaitu menahan harta yang mungkin untuk diambil manfaatnya besertaan tetapnya barang tersebut dilarang untuk menggunakannya (Tasarruf) dan diperbolehkan menggunakannya (Tasarruf) untuk kebaikan yaitu mendekatkan diri kepada Allah.[19]Al-Kazimy al-Kazwiny mendefinisikan wakaf adalah menahan suatu benda ('ain) dan menjalankan manfaatnya, dengan menngunakan kata "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kata sepadannya. [20]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
            Dari baberapa definisi diatas, mengindikasikan sifat abadi wakaf atau dengan kata lain, istilah wakaf diterapkan untuk harta yang tidak musnah dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengonsumsi harta benda itu sendiri. Oleh karenanya wakaf indentik dengan tanah, kuburan, masjid, langgar, meskipun adapula wakaf  buku-buku, mesin pertaian, binatang ternak, saham dan aset, serta uang tunai (wakaf tunai/cash wakaf)dapat. Dengan demikian, secara garis besar wakaf dapat dibagi dalam dua kategori Pertama, direct wakaf dimana aset yang ditahan/diwakafkan dapat mengahsilkan manfaat/jasa yang kemudian dapat digunakan oleh orang banyak (beneficiaries) seperti rumah, ibadah, sekolah dan lain lain. Kedua, wakaf investasi (aset yang diwakafkan digunakan untuk investasi). Wakaf aset ini dikembangkan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dapat dijual untuk menghasilkan pendapatan, dimana pendapatan tersebut kemudian digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas umum masjid, pusat kegiatan umat islam dan lain-lain.[21]

B.     Landasan Teori Wakaf
Al- Qur’an tidak pernah berbicara secara sepesifik yang tegas tentang wakaf. hanya saja  wakaf itu merupakan salah bentuk kebajikan melalui harta benda, maka para ulama’ pun memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan melalui wakaf. karena itu dalam kitab-kitab fiqh ditemukan pendapat yang mengatakan bahwa dasar hukum wakaf disimpulkan dari beberapa ayat seperti:
1)   Firman Allah SWT. dalam surat al- Tin  ayat 4-6 yang berbunyi :
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ   ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ  
Terjemahnya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.[22]
2)   Firman Allah SWT. dalam surat al- Baqaroh ayat 261 yang berbunyi :
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムóOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y Ÿ@Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ï軟Òム`yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇËÏÊÈ  
Terjemahnya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.[23]
3)   Firman Allah SWT dalam surat al- Baqarah ayat 267 yang berbunyi:
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ  
Terjemahnya:Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.[24]
Selain firman Allah tersebut di atas, dasar hukum pelaksanaan wakaf juga didasarkan kepada hadist. para ulama menilai bahwa waqaf termasuk juga sodaqoh yang nilai pahalanya senantiasa mengalir selagi manfaatnya masih bisa dipetik. Dalam konteks inilah maka para fuqaha’ mengemukakan hadist nabi SAW. Yang berbicara tentang keutamaan sedekah jariah sebagai salah satu sandaran dasar hukum wakaf.  Sebagaimana diriwiyatkan Abu Hurairah RA:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم: قال اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث, صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له. (رواه مسلم)
 Artinya: “bahwa rasulullah SAW. telah bersabda: apabila meninggal manusia akan terputuslah pahala segala amalnya kecuali tiga macam, yaitu sedekah jariah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shaleh dan selalu mendo’akan orang tuanya[25]
ان عمر بن الخطاب اصاب ارضا بخيبر فاتى النبي صلى الله عليه وسلم: يستأمره فيها فقال يا رسول الله: اني اصبت ارضا بخيبر لم اُصب مالا قط هو انفس عندي منه فما تأمر به قال ان شئت حبست اصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر انه لايباع اصلها ولا يوهب ولايورث فتصدق بها فى الفقراء وفى الرقاب وفى السبيل لله وابن السبيل والضيف لاجناح على من وليها ان يأكل  منها باالمعروف ويطعم صديقا غير متمول مالا (ومسلم)
     Artinya: “umar ibnu khatab medapat bagian sebidang tanah dikhaibar. Ia lalu menghadap rasulullah untuk minta petunjuk penggunaan penggunaan harta tersebut. “ya rasulullah” katanya. “sesungguhnya aku telah mendapatkan sebidang tanah dikhaibar yang mana sebelumnya saya belum pernah mendapatkan tanah yang sebaik ini. Apa nasihatmu kepadaku tentang tanah ini? “Rasulullah menjawab: “jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu dan bersedekahkanlah dengan hasilnya”. “Ibnu umar  berkata: “umar lalu mewakafkan tanah itu dalam arti bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, atau dihibahkan, ataupun diwariskan.Ia menyedekahkan hasil tanah itu pada orang fakir, kepada kerabat, untuk memerdekakan budak, pada jalan allah, untuk orang yang terlantar, dan untuk para tamu. tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya memakan sebagian harta tersebut secara patut atau memberi makan dengan harta itu asal tidak bermaksud mencari kekayaan.[26]
كان ابو طلحة اكثر الانصاري بالمدينة مالا من تخل وكان احب امواله اليه بيرحاء وكانت مستقبلة المسجد وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدخلها ويشرب من ماء فيها طيب. قال انس فلما انزلت هذه الاية لن تنال البر حتى تنفقوا مما تحبون......الخ. قال ابو طلحة الى رسول الله صلى الله عليه وسلم: يارسول الله ان الله تبارك وتعالى يقولوا لن تنال البر حتى تنفقوا مما تحبون..الخ. وان احب اموالى الى بيروحاء وانها صدقة لله وارجو برها عندالله فضعها يا رسول الله حيث اراك الله قال فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: بخ ذلك مال ريح ذلك مال رابح وقد سمعت ما قلت سمعت ما قلت وانى ارى ان تجعلها فى الاقربين فقال ابو طلحة افعل يا رسول الله فقسمهاابو طلحة فى اقاربه وبنى عمه (رواه بخارى ومسلم)
Artinya: “ Umar ibnu khatab mendapat  bagian sebidang tanah dikahaibar, ia lalu menghadap rasulullah untuk mendapat peunjuk penggunaan penggunaan harta tersebut. “Ya Rasulullah” katanya “sesungguhnya aku telah mendapat sebidng tanah tanah dikhaibar yang hal semacam ini belum pernah aku terima . apa nasihatmu kepadaku tentang tanah itu? “ Rasulullah menjawab: “jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu dan bersedekahkanlah dengan hasilnya”, ibnu umar berkata: “umar lalu mewakafkan tanah itu dalam arti  bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, atau dihibahkan, ataupun diwariskan, ia menyedekahkan hasil tanah itu kepada orang fakir, kepada kerabat, untuk memerdekakan budak, pada jalan allah , untuk orang yang terlantar, dan untuk para tamu. Tidak ada dosa bagi orng yang mengurusnya memakan sebagian harta tersebut secara patut atau memberi makan sebagian harta tersebut secara patut atau memberi makan dengan harta itu asal tidak bermaksud mencari kekayaan”[27]
Para ulama’ bependapat bahwa hukum berwakaf itu dianjurkan oleh agama, sebab wakaf merupakan salah satu bentuk kebajikan melalui harta ialah dengan jalan wakaf, sebab orang lain akan mendapat manfaat dari harta yang diwakafkan itu.



C.     Macam – Macam Wakaf
Menurut Sayid Sabiq, Wakaf yang dikenal dalam syaria’at Islam, dilihat dari penggunaan yang memanfaatkan benda Wakaf ada dua macam yaitu:
1.    Wakaf Ahli/Wakaf Dzurri
Kadang juga sering disebut Wakaf A’ulad. Yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga/famili, lingkungan untuk kerabat sendiri. Jadi yang menikmati manfaat benda wakaf  sangat terbatas kepada yang temasuk golongan kerabat sesuai dengan Ikrar yang dikehendaki si Wakif.
Pada perkembangan selanjutnya wakaf dzurri ini di anggap kurang dapat memberikan manfaat kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf ini. Lebih-lebih kalau keturunan keluarga tersebut sudah berlangsung kepada anak cucunya.
Dibeberapa negara tertentu, Mesir, Turki, Maroko, dan Aljazair tanah wakaf untuk keluarga telah dihapuskan, Karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah wakaf  bentuk ini tidak produktif. [28]Oleh karena itu, dibeberapa negaratersebut, waqaf ahli dibatasi dan malahan di hapuskan, karena tidak sejalan dengan ajaran Islam.[29]
2.    Wakaf Khairi
Wakaf yang diperuntukkan bagi segala amal kebaikan atau kepentingan umum. Jenis wakaf ini seperti ini seperti yang diterangkan dalam Hadist Nabi Muhammad s.a.w yang menceritakan tentang wakaf Sahabat Umar Bin Khathab. Beliau memberikan hasil kebunya kepada kepada fakir meskin, Ibnu sabil, sabililah, para tamu, dan hamba sahaya yang sedang berusaha  menebus dirinya. Wakaf ini ditunjukkan kepada umum,dengan tidak terbatas penggunaanya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan  umum tersbut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan, dan lain lain.[30]
D.    Rukun dan Syarat Wakaf
Rukun wakaf ada empat macam: Pewakaf (Waqif), barang wakaf (Mauquf), penerima wakaf (mauquf 'alaih), dan akad (shighat);masing-masing rukun mempunyai persyaratan tersendiri. Dan wakaf diperbolehkan dengan tiga syarat:
1.    Harta yang diwakafkan harus berupa barang yang bisa dimanfaatkan serta wujudnya tetap utuh, tidak disyaratkan kemanfaatannya seketika itu saja, maka sah mewakafkan hamba dan prajurit yang keduanya masih kecil. Dan perkara yang keadaannya ('ain)  tidak tetap Tidak sah untuk mewakafkannya seperti makanan.
2.    Wakaf dialokasikan pada pangkal yang telah ada dan keturunanyang tidak akan pernah terputus. Hakikat wakaf adalah pengalihan hak guna pakai barang yang dimiliki kepada penerima wakaf. Maka, hokum menyerahkan hak milik pada orang yang belum ada adalah batal, begitu pula pada orang yang tidak dapat menerima hak milik.
3.    Wakaf tidak dialokasikan pada perkara yang di larang, maka tidak sah mewakafkan tempat peribadatan untuk beribadah orang nasrani. Dan disyaratkan di dalam mewakafkan untuk tidak di batasi waktunya dan tidak digantungkan seperti Ungkapan "ketika awawal bulan tiba maka aku akan mewakafkan".[31]
1.    Orang yang mewakafkan (waqif )
Adapun persyaratan yang berhubungan dengan wakif ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a.    Perkataannya dapat dipertanggung jawabkan, baik seorang muslim atau kafir. Sehinnga hukum wakaf dari orang kafir adalah sah, walaupun berwakaf pada masjid[32], dan meskipun dia tidak meyakini bahwa wakaf adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT sesuai keyakinan muslim. Oleh karena itu, hukum wakaf anak-anak dan orang gila adalah tidak sah. Artinya, wakif harus sudah baligh serta berakal sempurna.
b.    Memiliki kemampuan berderma. Maka, hukum wakaf dari orang sakit yang berakibat pada kematian adalah sah, dan wakaf yang dikeluarkannyatidak melebihi dari sepertiga harta yang ditinngalkannya. Sementara itu , hukum wakaf dari orang yang bersetatus cekal karena menghambur-hamburkan harta atau karena pailit adalah tidak sah. Namun demikian, hukum ucapan orang bodoh, "Saya mewakafkan rumah saya pada orang-orang fakir setelah saya meninggal dunia,"adalah sah, karena wasiat yang dilakukannya hukumnya sah.
            Persyaratan yang kedua ini tidak memerlukan lagi persyaratan pertama, karena perkataan orang demikian pasti dapat dipertanggung jawabkan serta telah mencakup dua persyaratan berikut, yaitu Waqif harus memiliki kewenangan bertindak secara mutlak, misalnya dia sudah baligh, berakal sempurna dan cakap.
c.    Waqif melakukannya atas dasar inisiatif sendiri. Sehingga hukum wakaf dari orang yang dipaksa melakukan wakaf adalah tidak sah. Wakaf tidak disyaratkan dapat dilihat oleh waqif, sehingga wakaf barang yang tidak dapat dilihatnya dihukumi sah, dan hukum wakaf dari orang butajuga sah.[33]
2.    Barang Wakaf (mauquf )
Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1.    Benda wakaf  (mauquf ) benar-benar ada, balaupun barangnya di bawa orang lain atau barangnya tidak dilihat.
2.    Benda wakaf  (mauquf ) dimiliki  oleh orang yang mewakafkan (Waqif).
3.    Benda wakaf kepemilikan seseorang, dapat di pindahkan dan dimiliki oleh orang lain.
4.    Benda wakaf (mauquf ) dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, [34] kondisi barang tetap tahan lama.
5.    Benda wakaf (mauquf ) dapat di alihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahatyang lebih besar.
6.    Benda wakaf titak dapat diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan.[35]
3.    Orang yang menerima wakaf (maukuf ‘alaih)
Adapun orang yang menerima wakaf dibagi menjadi dua bagian:
a.     Orang yang menerima wakaf  harus ditentukan, dan di syaratkan pula bagi orang yang menerima wakaf adalah seseorang yang berhak  mengelola barang yang di Wakafkan, dengan demikian maka hukumnya tidak boleh  Wakaf terhadap anak ataupun cucunya sendiri yang belum ditentukn namanya.
b.     Orang yang menerima wakaf tidak ditentukan.
            Disyaratkan lagi tidak adanya unsur ma’siat oleh sebab itu diperbolehkan wakaf terhadap para ulama’ orang-orang yang Zuhud (orang yang menjauhkan diri dari kehidupan dunia) masjid dan juga pondok.
4.    Pernyataan Penyerahan Wakaf (Shigot Waqaf)
                        Shigot (lafadz) adalah suatu lafadz yang bisa mengandung arti misalnya “aku Wakafkan benda ini untukmu” atau “menahan benda ini pada fulan (orang) atau bisa juga “aku rusak barang ini untuk dijadikan sebagai barang wakafan kepada fulan (orang). Adapun  Lafadz dibagi menjadi empat bagian:
a.     Kata-kata Wakaf  menunjukkan selamanya sehingga di anggap tidak diperbolehkan apabila dalam akadnya mengatakan “ aku Wakafkan barang ini selama satu tahun ”.
b.    Menjelaskan tempat pengalokasian barang wakaf seperti halnya dalam akadnya mengatakan “aku wakafkan barang ini “ (tanpa menyebutkan orang yang menerima wakaf).
c.    Adanya lafadz (shigot) tersebut seketika itu dapat berlangsung dengan sendirinya misalnya “aku wakafkan barang tersebut pada seseorang jika orang itu datang sekarang”
d.   Tidak ada paksaan.
            Apabila Wakif  berkata “aku wakafkan barang tesebut pada seseorang dengan syarat khiyar (sewaktu-waktu bisa dikembalikan) atau dengan menarik kembali harta wakafan kapan saja misalnya, atau orang yang mewakafkan menentukan orang yang ia senangi dan tidak memperbolehkan bagi orang yang tidak ia senangi maka wakaf tersebut tidak syah (batal), dengan catatan  hukum batal tidaknya wakaf, kalau memang diketahui secara pasti bagi pihak yang tidak disenangi oleh wakif  dan apabila orang tersebut tidak mengetahui  maka hukum wakaf tidak batal.[36]  

E.     Macam-macam benda Wakaf
                        Sifat wakaf adalah menahan suatu benda dan memanfaatkan hasilnya, agar dapat berkesinambungan manfaat benda tersebut. Karena itu benda wakaf haruslah bertahan lama, dan tidak cepat rusak. Namun demikian, wakaf tidak terbatas pada benda-benda yang tidak bergerak saja, akan tetapi dapat berupa benda bergerak.
                        Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa macam-macam benda wakaf  adalah:
a.    Benda tidak bergerak, seperti tanah, sawah, dan bangunan. Benda macam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan, kerena mempunyai nilai jariah yang lebih lama. Ini sejalan dengan praktek wakaf yang dilakukan sahabat Umar Ibn Khattab atas tanah khaibar yang di suruh oleh Rasulullah SAW. Demikian juga yang dilakukan oleh Bani al-Najjr yang mewakafkan bangunan dinding pagarnya kepada Rasulullah untuk kepentingan masjid.
b.    Benda bergerak, seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak atau benda-benda lainnya. Yang terakhir ini dapat juga diwakafkan. Namun demikian, nilai jariahnya terbatas hingga benda-benda tersebut dapat dipertahankan. Bagaimanapun juga, apabila benda-benda itu tidak dapat lagi diprtahankan keberadaannya, maka selesailah wakaf tersebut. Kecuali apabila masih memungkinkan diupayakan untuk ditukar atau diganti dengan benda baru yang lain.
Sementara ulama' ada yang membagi benda wakaf kepada bendayang berbentuk masjid dan bukan masjid. Yang berbentuk masjid, jelas termasuk benda yang tidak bergera. Untuk benda yang bukan berbentuk masjid, seperti pembagian terdahulu, yanitu benda tidak bergerak dan benda bergerak.[37]



F.     Pengaturan dan Hikmah Wakaf
                        Sebelum Islam dapatla dikatakan bahwa di Arabia tidaklah dikenal Lembaga Wakaf. Namun sebenarnya sebelum dating Islam telah ada institusi yang mirip dengan institusi perwakafan, walaupun tidak memakai istilah wakaf. Umat manusia terlepas dari agama dan kepercayaan yang mereka anut sesengguhnya telah mengenal beberapa bentuk praktik pendayagunaan harta benda, yang subtansinya tidak jauh berbeda dengan batasan makna wakaf dikalangan umat Islam. Hal ini disebabkan oleh pada dasarnya seluruh umat manusia di dunia ini sudah menyembah tuhan melalui ritual keagamaan sesuai dengan kepercayaan mereka. Hal inilah yang menjadi factor pendorong umat manusia untuk membangun rumah peribadatannya masing-masing.
                        Rumah rumah peribadatan yang sudah berdiri sejak zaman dahulu tersebut, pasti harus didirikan di atas sebuah lahan dan bersifat permanen. Oleh karena itulah, mereka yang memiliki kepedulian serta perhatian terhadap kelangsungan agamanya, akan dengan sukarela menyumbangkan tanah dan hartanya untuk membangun rumah peribadatan tersebut dan apa yang mereka lakukan ini, secara subtansial adalah sama dengan wakaf dalam Islam. Misalnya pembangunan ka'bah yang dibangun Oleh nabi Ibrahim as.
Perbedaan antara praktik wakaf yang terjadi sebelum datangnya Islam tersebut terletak pada tujuan wakaf. Dalam Islam . tujuan wakaf adalah untuk  hal kebaikan tidak untuk perkara yang haram,[38] mencari ridha Allah SWT., dan untuk mendekatkan diri kepadanya.[39] Adapun wakaf sebelum islam seringkali digunakan sebagai sarana untuk mencari kebanggaan (prestise).
                        Pada masa Daulah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah, wakaf telah meluas serta memicu umat Islam untuk mewakafkanharta mereka. Jangkauan wakaf pada waktu itu tidak hanya terbatas pada penyaluran kepada kalangan fakir miskin, tetapi telah merambah pada pendirian sarana ibadah, tenpat-tempat pengungsian, perpustakaan dan sarana-sarana pendidikan serta beasiswa untuk pelajar, tenaga pengajar dan orang-orang yang telibat di dalamnya. Jangkauan wakaf yang semakin luas dan penting ini kemudia didirikan suatu lembaga khusus bergerak dibidang wakaf, baik untuk menampung harta wakaf maupun mengelolanya. Selain itu, wakaf yang dahulunya benar-benar menjadi hokum privat, pada perkembangannya membutuhkan campur tangan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaannya.
                        Pada masa Daulah Usmaniyah menguasai daratan arab , jangkauan wakaf telah meluas dan mendapat sambutan dari penguasa dan pemimpin lainnya. Mereka mendirikan lembaga khusus untuk mengawasi wakaf dan menyusun undang-undang dan peraturan khusus tentang pengaturan pengelolaan wakaf, pemaparan bentuk wakaf, dan teknis pendistribusiannyaprinsip-prinsip yang terkandung di dalam undang-undang tersebut masih tetap dipakai oleh lembaga-lembaga wakaf hingga kini.[40]




[17] Sekh Zakaria Al-anshori,. Hasyiyah Al-Jamal, Kitabul Waqfu, (Lebanon: Darul Fikr, 2007), h. 575.
[18] Ahmad Bin Husen,  Fathal Qorib al-Mujib, (Semarang: Toha Putra,  t.t) h. 39.
[19] Taqiyuddin Abi Bakr, Kifayah al-Akhyar, Juz I (Lebanon: Dar al-Fikr  t.t), h. 256.
[20] Ahmad Rofiq,  Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), h. 490-491.
[21] Farid Wadjdy, Mursyid, wakaf & kesejahteraan Umat, Cet.1 (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 30
[22] al –Qur’an,  95, 4-6. 
[23] al –Qur’an, 2, 261.
[24] al –Qur’an, 2, 267 
[25] Abi Fadhol Ahmad Bin Ali Bin Hajar As-Qolani, Bulugul Marom, (Lebanon: Darrul Kutub, 2007), h, 191.
[26] Al – Muslim, Shahihul Muslim (Bairut: Darrul Fikr,1989), h, 308 
[27]Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya An- Nawawi, Riyad As – Sholihin, (Surabaya: Al- Hidayah. tt), h, 165
[28] Suparman Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia Cet. 2 (Jakarta: Darul Ulum Press, 1999), h, 36.
[29] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 492.
[30] Suparman Usman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, h.36.
[31] Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Bantani, Tausekh ala Ibni Qosim, (Jakarta:DarAl-ktb al-Islamiyah, t.t) h. 337-339.
[32] Sekh Sulaiman Al-bujayromy, Bujayromy Alalkhotib, Juz 3,  (Bairut: Darrul Fikr,2007), h. 243.
[33] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, Jilid II,  (Jakarta: Almahira, 2010), h. 346.
[34] Abi Yahya Zakariya al-Anshori, Fathul Wahab,Juz 1,  (Lebanon: Dar al-Fikr). h. 306.
[35] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 495.
[36] Muhammad Amin Al- Kurdi, Tanwirul Qulub, (Lebanon: Darrul Ulum, 2003), h, 318.
[37] Ahmad Rofiq,  Hukum Islam di Indonesia, h. 505.
[38] Adapun haram adalah kebalikan dari wajib, yaitu apabila ditinggalkan akan mendapat pahala dan disiksa apabila menjalankannya.  Baca Kitab Sarah Mandhumah Al-Waraqat, Karya sayyid Muhammad Bin Alwi al-Maliki, h.13.
[39] Muhammad Nawawi Bin Umar Al-Bantani, Tausekh ala Ibni Qosim, h. 337.

[40] Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.54-55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar